Nusantara

Migrant Institute Desak Optimalkan Moratorium

01-07-2011

Surabaya, beritasurabaya.net - Kasus pemancungan Ruyati binti Satubi (TKW asal Bekasi) di Arab Saudi menjadi episode terburuk sejarah penempatan TKI. Oleh karena itu, kasus ini menjadi momentum terbaik bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan mendasar. Khususnya terhadap segala aspek perlindungan TKI mulai dari pra penempatan yang masih diwarnai tindak penipuan, penyiksaan dan ekploitasi lain sampai dengan masa penempatan yang masih diliputi ancaman fisik, pikiran hingga nyawa.

Aksi tanggap pemerintah pasca kasus Ruyati, dinilai Migrant Institute, ibarat orang panik tenggelam sehingga meraih segala apa yang bisa menyelamatkannya. Misalnya saja pembentukan Satgas (task force) TKI seperti dipaksakan. Ini mengingat, pembentukan lembaga tidak disertai assesment/kajian mendalam menyangkut efektifitasnya bagi perlindungan TKI di negara penempatan.

‘’Seperti yang kita tahu, sistem hukum dan pemerintahan negara penempatan berbeda dengan negara Indonesia. Alhasil, negosiasi yang dilakukan aparat setingkat Kementrian/Lembaga/KBRI sering diacuhkan oleh pemerintah negara penempatan dengan alasan level jabatan, kewibawaan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Kepala Negara RI harus berada di garda depan dalam setiap perjanjian dan negosiasi permasalahan TKI dengan menambahkan daya dan kapasitas KBRI/KJRI sehingga tidak punya alasan lalai dalam melindungi TKI. Dari pemikiran ini, pembentukan Satgas bukanlah solusi efektif,’’papar Suprapti Husein Divisi Advokasi Migrant Insitute, Jumat (1/7/2011).

Begitu pula dengan pembukaan Call Centre 24 Jam. Tidak jauh beda, peresmian Call Centre oleh Menakertrans Muhaimain Iskandar pada tanggal 27 Juni 2011 lalu, ibarat orang kebakaran jenggot. Pertanyaan simplenya, mengapa tidak dilakukan sejak dahulu ? Bagaimana sinkronisasi kerja aparat kemenakertrans, BNP2TKI, Kemlu dalam memberikan perlindungan TKI ?.

Jika call centre ini dianggap efektif, Migrant Institute pernah mencoba akses tersebut untuk mengadukan satu masalah TKW, namun jawaban tim pengelola call centre kompak. Ya, masalah anda kami tampung dan dikoordinasikan dengan KBRI/KJRI setempat, jika ada perkembangan nanti akan kami hubungi! Disinilah tampak, bahwa pembuatan call centre ini tidak didasari terobosan baru perlindungan TKI karena ujung-ujungnya dalih klasik yaitu akan dikoordinasikan dengan KBRI/KJRI yang selama ini terbukti tidak pro aktif (bahkan tidak peduli) terhadap masalah TKI.

Selain itu, rencana penempatan TKI dengan sistem stay out. Ini tidak beda jauh dengan aksi tanggap lainnya. Ini solusi yang tidak rasional. Mengapa? Karena hal ini akan berbenturan dengan kehendak mayoritas majikan (user) yang ingin mengkeploitasi TKI khususnya TKW yang berprofesi sebagai PRT (Pembantu Rumah Tangga).

‘’Maka satu-satunya solusi bila pemerintah masih ingin menempatkan TKI adalah dengan merubah komposisi penempatan TKI yang selama ini di dominasi pekerja sektor informal (PRT, penjaga toko, kuli, tukang kebun dsb) ke sektor formal dengan asumsi lebih mudah perlindungannya. Sebab ia bukan sebagai domestic worker yang secara hukum berada dalam otoritas majikan penuh sehingga rentan mengalami segala bentuk penindasan.

Suprapti menegaskan Moratorium adalah solusi terbaik bagi pemerintah RI maupun negara penempatan bermasalah seperti Arab Saudi dan Malaysia. Moratorium akan memberikan peluang koreksi dan refleksi tatakelola negara terhadap skema perlindungan TKI yang lebih pro TKI itu sendiri, bukan pro devisa apalagi pro negara penempatan yang terbukti tidak protektif terhadap TKI.

Refleksi mendasar yang harus dilakukan pemerintah adalah bahwa 70% lebih TKI adalah TKW (Tenaga Kerja Wanita). Pertanyaan fitrahnya wanita yang seharusnya menjadi pengelola rumah tangga mengapa justru di negeri ini banyak yang menjadi korban trafficking atas nama TKI? Lalu dimana hasil kerja kementrian pemberdayaan Perempuan, serta kementerian terkait lainnnya, dalam memberdayakan ekonomi dan keluarga perempuan Indonesia ?

Tidak sepatutnya negeri ini salah kelola karena korupsi yang menjadi jadi, lalu TKI kirimkan dengan elu-elu sebagai pahlawan devisa, sedang didalamnya tidak tampak perlindungan konkret yang diberikan negara terhadap warganya. Sekali lagi, kasus Ruyati adalah momentum terbaik untuk melakukan moratorium terhadap negara penempatan TKI yang selalu bermasalah.

Sebagai seruan moral, di sela aksi di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, Migrant Institute menyampaikan untuk optimalkan peran dan fungsi perlindungan di negara yang belum terkena moratorium, khususnya di Hongkong dan Taiwan. Sebab, kasus penyiksaan, pemerkosaan, underpayment, eksploitasi, sampai dengan pembunuhan masih marak terjadi tanpa penanganan yang berarti dari KBRI/KJRI.

Konkretkan peran dan fungsi Kepala Negara (Presiden) sebagai pihak terdepan dalam perlindungan TKI, sebab sesungguhnya masih terdapat ribuan kasus TKI di negara penempatan yang belum tertangani. Ciptakan lapangan kerja yang lebih merata di pedesaan terutama di daerah kantong TKI, supaya migrasi atas nama ekonomi terkurangi.

Realisasikan pendidikan gratis 12 tahun tanpa kecuali bagi rakyat miskin, sehingga kalaupun terdapat anak bangsa yang ingin menjadi TKI tidak berpendidikan rendah karena mudah dibodohi dan ekploitasi. Dalam aksi tersebut, diserahkan Buku Surat berdarah untuk Presiden dan Buku Kepada Yth Presiden RI. (bsn-ai)

Advertising
Advertising
Pemadam Kebakaran
Surabaya Pusat
031-3533843-44
Surabaya Utara
031-3712208
Surabaya Timur
031-8411113
Surabaya Barat
031-7490486
Surabaya Selatan
031-7523687
Rumah Sakit & Klinik
RSUD Dr. Sutomo
031-5020079
RS Darmo
031-5676253
RS ST Vincentius A Paulo
031-5677562
RS William Booth
031-5678917
RS Adi Husada
031-5321256
Kepolisian
Polda Jatim
(031) 8280748
Polrestabes
(031) 3523927